Rabu, 25 Juni 2008
FILM-FILM REKOMENDED
Sutradara Edward Zwick, konon, telah membayangkan The Last Samurai sejak menyaksikan film Seven Samurai karya Akira Kurusawa saat ia berusia 17 tahun. Menurutnya, budaya Jepang, termasuk film-filmnya, telah memikat hatinya dengan begitu mendalam. Kekagumannya pada karya Kurusawa, terutama untuk penciptaan karakter, pengambilan gambar laga, dramatisasi tema, telah meletakkan sebuah obsesi di dalam benaknya untuk membuat film tentang samurai, satu saat kelak. Dan, masa itu datang pada tahun 2002. Ia membuat film tentang ksatria Jepang itu, tapi tentu saja dari sudut pandang seorang Amerika.
Dikisahkan, Nathan Algren (Tom Cruise) adalah seorang pahlawan Amerika. Ia berhasil membunuh berpuluh-puluh Indian dengan tangannya sendiri. Banggakah dia? Ternyata tidak. Kepahlawannya yang kemudian menjadi pertunjukan tersendiri di panggung-panggung di negerinya itu malah membuatnya tak bisa tidur. Ia memang membunuh banyak Indian, tetapi jumlah tersebut juga termasuk anak-anak dan para perempuan. Algren jelas tidak bangga dengan hasil perbuatannya. Namun, ia tak punya cara lain untuk melupakan dosanya itu selain melarikan pikirannya pada minum-minuman keras.
Satu hari, seorang pejabat penting dari Jepang menyewanya untuk melatih tentara Jepang. Ia terima tugas itu hanya karena ia patuh terhadap atasannya, Kolonel Bagley (Tony Goldwyn). Berangkat ke Jepang, ia menemukan ketertarikan untuk mengenal lebih jauh Samurai—ksatria Jepang yang mengabdi pada Kaisar—yang dikatakan sebagai pemberontak. Pertempuran di sebuah hutan membuat keinginan Algren terwujud. Ia dijadikan sandera oleh Katsumoto (Ken Watanabe), pemimpin Samurai, dan dibawa ke perkampungan mereka. Di sana, perlahan namun pasti, ia mengetahui bagaimana para Samurai ini hidup, menjunjung tinggi disiplin, jiwa ksatria, sportivitas, dan nilai-nilai budaya yang tinggi. Algren jatuh hati. Kedamaian yang selama ini dicari didapatnya justru di negeri yang jauh. Algren tak sulit mendapatkan hati Katsumoto dan para samurai.
Di Tokyo, ibu kota Jepang, Kaisar Meiji (Shichinosuke Nakamura) mendapat banyak pengaruh dari Omura, pejabat yang memiliki banyak kepentingan. Ia bahkan memberi restu kepada Omura untuk memerangi Katsumoto—orang yang selalu mengabdi kepadanya. Berkebalikan dari Katsumoto yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional, Omura adalah orang yang mewakili pikiran yang modern, hanya saja semua demi kepentingan pribadinya.
Maka, demi prinsip yang dipegang masing-masing, berperanglah para samurai yang dipimpin oleh Katsumoto dan tentara didikan Amerika yang dipimpin oleh Omura. Sementara itu, Algren harus memilih: Mematuhi atasannya atau menuruti hati nuraninya.
Memenangkan Amerika
Banyak hal yang membuat The Last Samurai patut ditunggu para penggemar film. Sinematografinya yang indah membuat mata tak lelah melotot selama dua jam lebih. Gambar-gambar yang dihasilkan tak cuma bagus saat adegan-adegan minim orang. Untuk adegan perang yang melibatkan banyak orang pun, kamera tetap konsisten mengambil gambar dengan bagus.
Apalagi, lokasi yang dipilih sutradara Edward Zwick, yaitu Selandia Baru, begitu cantik. Kecantikannya itu pula yang telah membuat kreator The Lord of the Rings menjadikannya lokasi syuting.
Sang desainer produksi, Lilly Kilvert juga tak menyia-nyiakan lokasi ini. Lansekap di perkampungan samurai digarap maksimal. Plus bunga sakura dan gunung bersalju mirip Fujiyama, lokasi ini berhasil menciptakan kesan seolah-olah terletak di Jepang pada tahun 1896-an. Tunggu sampai Anda menyaksikan film ini, dan pujian pun bakal terlontar.
Nilai-nilai tradisi Jepang, terutama yang dipegang para samurai, menjadi point yang menarik. Betapa mengagumkannya seorang istri yang suaminya dibunuh musuh, justru merawat musuh tersebut hingga sembuh. Alasannya? Sang suami mati dengan cara syahid. Tak ada alasan untuk membenci sang musuh. Wow!
Trio penulis skenario—John Logan, Marshall Herskovitz dan Zwick—menciptakan karakter-karakter yang kuat. Lewat karakter Katsumoto, penonton diperkenalkan pada cara-cara hidup seorang ksatria. Tak pernah ada dendam dalam hati samurai. Tak kan ada orang yang mati sia-sia di tangannya. Ia memerangi musuh yang memang harus diperanginya. Algren adalah seorang pahlawan bagi masyarakatnya. Hanya saja ia belum menemukan arti pahlawan yang sesungguhnya. Keresahan hatinya itu ditunjang sikapnya yang terbuka terhadap pengaruh nilai-nilai baru.
Ken Watanabe dan Tom Cruise menunjukkan kelas mereka dalam berakting. Masing-masing peran dimainkan dengan sangat baik. Watanabe berhasil menunjukkan kekerasan hati Katsumoto di satu saat, kewelasasihan di saat lain, atau kegemulaian saat berteater di panggung. Cruise, seperti biasa, selalu menawan dalam penampilan. Karakter Algren begitu hidup di tangannya.
Gambar indah, cerita bagus dan pemilihan pemain tepat tentu bisa menjadi alasan bagi penyuka film untuk datang ke bioskop. Toh, tetap saja ada aspek yang mengecewakan.
Ridley Scott dan William Monahan, mengangkat sepenggal kisah dengan latar belakang Perang-Salib. Dengan menampilkan Kerajaan Jerusalem (1099-1187) yang juga meliputi Antiokhia, Edesssa, dan Tripoli. Secara pemerintahan daerah ini di bawah Konstantinopel, namun gereja di bawah Paus di Roma. Film ini oleh banyak kalangan dinilai sebagai film yang lumayan jujur dan berani menampilkan ‘keburukan sejarah agama sendiri’ yang memang selama ini menjadi latar-belakang ketidak-harmonisan hubungan antara Islam-Kristen. Anda tentu tergelitik sekaligus miris dengan ucapan agamawan yang memberi semangat kepada tentara-tentara salib ke medan-perang yang diucapkan secara berulang-ulang "to kill an infidel is not a murder, it is the path to heaven!" ini mungkin agak mirip dengan ‘teriakan’ Imam Samudra.
Pemilihan judul KINGDOM OF HEAVEN, tentu mempunyai makna metaforik. Yang dalam film ini justru mengetengahkan tafsiran-tafsiran Kitab-Suci secara harfiah saja atau bahkan menyimpang. Dengan jelas, Alkitab menyatakan bahwa Yesus adalah Raja Damai. Film ini juga boleh dianggap sebagai oto-kritik terhadap kekristenan sebagaimana film THE NAME OF THE ROSE misalnya, yang mengetengahkan bahwa, TUHAN justru menjadi ‘orang-asing’ di dalam Gereja, karena ajaran manusia/ doktrin diberi otoritas yang melebihi Kitab-Suci sendiri.
Film ini bolehlah disebut sebagai salah-satu film terbaik yang pernah dibuat. Senematografi dan editingnya sangat pas. Dalam film ini, kita menikmati sebuah film epik yang cemerlang, sajian karya seni yang tinggi, dengan gerak kamera yang memukau, semburan darah, koreografi pertempuran, ceraian anggota-anggota tubuh manusia, kekasaran manusia, yang anehnya justru menghasilkan sinematografi yang indah. Kostum yang bagus; juga pemilihan musisi kepada Harry Gregson-Williams, meskipun tak se-terkenal Hans Zimmer atau James Newton-Howard namun karyanya cukup dikenal dalam film-film ie. Shrek, Antz, Spy Game, Man on Fire, dll. Dalam adegan-adegan peperangan, kita bahkan tidak merasa bahwa suara-suara gesekan pedang, gemuruh detak kaki pasukan kuda, dll. yang ditampilkan itu adalah sound-effect, karena sifatnya yang natural dan sesuai kebutuhan karakter film-film perang.
Dari segi cerita, film ini dihujani banyak kritikan, terutama dari kalangan barat dan pengkaji sejarah Perang Salib. Kritikan dilontarkan dengan tuduhan “memutihkan sejarah” dan beberapa agenda murni untuk mengendurkan ketegangan antara agama. Dilain pihak, saya kagum atas keberanian Sir Ridley Scott, Sutradara Inggris itu dalam membuat film seperti ini di dalam konteks dan semangat Barat yang kini kurang lebih anti-muslim. Scott telah membuat film yang kurang-lebih proporsional terhadap Islam yang diwakili oleh pasukan Saladin. Dan penulis skrip, William Monahan, menyatakan, “film ini menyuguhkan pesan bahwa, adalah lebih baik hidup bersama daripada berperang.”
Kisah dalam film ini dimulai tahun 1184, dengan kepulangan Godfrey of Ibelin (Liam Neeson), seorang ksatria, kembali ke Perancis untuk menemui anaknya, Balian (Orlando Bloom), seorang pandai besi sederhana yang masih dalam suasana berkabung atas kematian anak dan istrinya. Dengan latar belakang kehidupan di tanah Eropa pada waktu itu dilanda kemiskinan. Para agamawan mengajar : Sebagai penebusan dosa, rakyat harus melakukan perjalanan suci ke Baitul Maqdis (Jerusalem) dan bertemu Yesus, dengan mengadakan ritual pengakuan dosa. Penduduk di daratan Eropa yang kala itu terbelakang, mereka menganggap agung ajaran-ajaran para agamawan itu. Maka konsekuensi logis masuknya mereka ke Agama Kristen adalah harus membebaskan tanah kelahiran dan disalibnya Yesus dari orang-orang asing (Arab).
Balian melakukan kesalahan dengan membunuh seorang pastor. Kemudian ia lari dan bergabung bersama ayahnya Godfrey of Ibelin. Dalam perjalanan, Balian diajar sebagai seorang prajurit, sampai pada suatu waktu Balian diharuskan untuk menyerahkan diri karena ia telah membunuh seorang pastor. Godfrey menolak menyerahkan Balian, maka terjadilah pertempuran yang menyebabkan Godfrey cedera, dan akhirnya mati. Balian kemudian menjadi pengganti ayahnya untuk melayani raja. Pada saat itu Balian bertemu dengan Tiberias, penasehat militer raja yang diperankan apik oleh Jeremy Irons.
Kemudian, film ini menceritakan suasana setelah Perang Salib pertama, Pada saat itu pihak Kristen menguasai Jerusalem. Dibawah pemerintahan King Baldwin IV (Raja Jerusalem 1174-1185). Jerusalem saat itu dalam suasana damai dengan pihak Islam. Raja Baldwin IV mengadakan gencatan senjata dengan Salahuddin al-Ayyubi atau Sultan Saladin (Ghassan Massoud). Tetapi di lain pihak ada beberapa orang dari pihak Kristen yang mencoba kembali memprovokasi perang dengan pihak Islam. “Give me a war!” adalah kalimat menggambarkan bahwa Guy de Lusignan (Marton Csokas), anggota Knights of Templar yang menentang perdamaian dengan umat Islam, adalah tokoh antagonis di film ini.
King Baldwin IV yang diperankan oleh Edward Norton, walaupun sepanjang aktingnya memakai topeng, karena keadaannya yang sekarat dan wajahnya rusak akibat penyakit kusta. Tetapi kita disuguhi ‘voices’ yang sungguh berkarakter, dan anda pasti menikmatinya, sebagaimana suara Jeremy Irons yang accent-nya selalu sedap didengar. Disinilah Scott sangat teliti dalam pemilihan actor yang cocok dalam setiap tokoh didalamnya. Meskipun raja tak kelihatan wajahnya, tetapi Scott tidak mau memilih sembarang aktor apalagi ‘aktor-murah’ untuk menghemat budget, karena pembawaan karakter lebih penting. Malah dalam beberapa adegan ‘suara Norton’ mampu menenggelamkan penampilan Bloom yang rupawan itu. Demikian pula Scott sangat ‘perfect’ dalam menampilkan para tokoh Islam, ia memakai aktor-aktor Muslim sesungguhnya, Ghassan Massaoud, misalnya. Pemeran Saladin ini adalah aktor dan sutradara ternama di Syria. Melihat gambaran tentang Saladin dan bala tenteranya, kita bisa melihat bahwa keturunan Abraham yang lain ini adalah bangsa yang sangat hebat. Saladin digambarkan sebagai seorang ‘panglima yang sempurna’.
King Baldwin adalah raja yang berkomitmen membina perdamaian dan harmonisasi 2 agama yang berbeda, namun komitmen ini harus dirusak oleh Guy de Lusignan dan Raynald de Chatillon (Brendan Gleeson) yang beranggapan bahwa “There must be war, God wills it!”. Maka untuk meredam kemarahan Saladin, King Baldwin sendiri yang kemudian memimpin pasukannya untuk berhadapan dengan pasukan Saladin. Sementara itu Balian yang ditugaskan untuk menjaga penduduk sipil bertaruh nyawa dengan pasukan Saladin yang dipimpin oleh Mummad Al Fais. Pasukan Balian kalah melawan pasukan Saladin namun Al Fais tidak mau membunuh Balian karena mereka saling mengenal sebelumnya. Dan Al Fais teringat akan jasa Balian dan kembali mengatakan “Your quality will be known among your enemies, before ever you meet them my friend”. Kemudian adegan diteruskan dengan ‘terms’ antara King Baldwin dan Sultan Saladin, dimana mereka kembali memilih jalan damai daripada saling menghancurkan. Segera setelah itu King Baldwin jatuh sakit.
Menjelang kematiannya, King Baldwin IV meminta agar Balian menikahi adiknya, Ratu Sibylla (Eva Green, aktris Perancis). Namun Balian menolak, atas penolakan ini Sibylla mengatakan kalimat sinis kepada Balian “There’ll be a day when you wish you could done a little evil to do a greater good”. Dan, hal tersebut memungkinkan Guy de Lusignan, menjadi raja dan memerintah atas Jerusalem menggantikan King Baldwin. Dengan didukung oleh Raynald de Chatillon. Guy dan Raynald adalah paduan sempurna ‘orang-orang yang haus darah’. Perang kembali dipicu dengan tindakan Guy yang membunuh seorang utusan Saladin dari Saracen. Tak cukup disitu Guy menangkap adik perempuan Saladin. Maka Saladin memancing pasukan Yerusalem keluar dari kota, untuk melawan pasukan Saladin di Hattin. Guy dan Raynald memporak-porandakan perjanjian damai yang susah-payah telah dibangun oleh Raja Baldwin IV dengan Sultan Saladin. Dalam keadaan seperti itu orang-orang Muslim tidak belajar suatu apapun dari Tentara- Crusade yang buas.
Kemudian, pasukan Guy menjadi lemah karena kekurangan air, maka dengan mudah mereka hancur dikalahkan oleh pasukan Saladin, kemudian Guy dan Raynald de Chatillon dibunuh. Melihat kekalahan tragis kubu, Tiberias kemudian memutuskan meninggalkan Jerusalem dan pergi ke Cyprus, sementara Balian tetap berusaha menjadi ksatria yang melindungi rakyat di Jerusalem.
Setelah memenangkan pertempuran itu, Saladin bergerak menyerang Yerusalem. Di dalam kota Jerusalem hanya ada penduduk biasa dan sedikit tentara saja karena sepeninggalan Tiberias dan Pasukan Guy. Terdesak oleh keadaan, Balian harus mengambil kendali dan memimpin para penduduk mempertahankan tembok kota, sesuai permintaan mendiang ayahnya “Defend the king, if the king is no more, protect the people”. Mampukah Balian dan pasukannya melawan pasukan Saladin yang berjumlah lebih dari 200ribu? Agaknya film ini tetap dalam komitmen-nya menyuguhkan sesuatu yang rasional. Dengan konklusi keputusan Balian “Then, I surrender Jerusalem under these terms” dialog dari tawar-menawar antara Saladin dan Balian, adalah salah satu dialog yang paling menarik di film ini.
Akhirnya Balian of Ibelin memilih kembali ke tempat asalnya dan menjadi seorang ‘pandai besi’, Sibylla pun meninggalkan posisinya sebagai ratu dan hidup bersamanya. Film ini hanyalah ‘sepenggal kisah dalam Perang Salib’ dan bukan keseluruhan catatan sejarah Perang Salib. Film inipun ditutup dengan Perjumpaan Balian dengan King Richard the Lionheart dari Inggris sebagai pihak yang kembali hendak memenangkan Jerusalem dari tangan Saladin (Pihak Muslim). Namun Balian menolak kembali berperang dengan mengatakan ‘I am a blacksmith!’
Walau bagaimanapun Perang Salib adalah sejarah hitam akibat dari abusement terhadap ajaran Tuhan Yesus Kristus, bagaimana Lambang Salib Sang Raja Damai itu dijadikan ‘icon-perang’ selama hampir 4 abad. Pada akhirnya Perang-Salib ini dimenangkan oleh kubu Sabil. Tahun 1453 merupakan masa jatuhnya Konstantinopel, kota kebanggaan Kristen itu menjadi Negara Islam hingga sekarang. Maka, hendaknya hal tersebut menjadikan suatu bukti bahwa Perang-Salib itu tidak dikehendaki Tuhan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar